Penghormatan seorang muslim kepada tiap Nabi dituntut untuk setara. Tidak membeda-bedakan antara satu Nabi dengan yang lain. Penghormatan begitu akan menghasilkan sikap objektif/insaf dalam mengambil pelajaran kehidupan tiap Nabi yang memang beragam. Lantas sikap insaf itu memudahkan seorang muslim untuk mengaplikasikan hikmah dalam rangka ketaatan kepada Allah swt. Sami’na wa atha’na (QS 2:285).
Pelajaran telah Allah bentangkan dalam Al-Quran. Tentang kisah heroik para Nabi. Ada kisah sukses, ada kisah sedih, ada pula sikap Nabi yang Allah koreksi dan Allah terangkan titik kritisnya. Semua dalam rangka untuk diambil pelajaran.
Ada satu surat yang seutuhnya bercerita tentang Nabi Nuh AS. Di surat bernomor 71 itu terbentang kisah perjuangan berat seorang Nabi yang berusia sangat panjang kepada kaum yang membangkang. Seruan telah disampaikan dalam diam maupun terang-terangan. Kaumnya telah diajak berpikir tentang penciptaan alam raya, telah pula diberi janji penghapusan dosa serta kehidupan dunia yang menyenangkan. Namun kaumnya itu malah membuat makar alih-alih menggunakan nuraninya untuk beriman.
Ending surat itu, azab Allah SWT turun kepada mereka yang membangkang. Kalau membaca dari apa yang Nuh AS adukan kepada Tuhan, lingkungan yang diazab itu memang sudah sedemikian parahnya sehingga setiap anak manusia yang lahir di lingkungan itu akan serta merta mengidap kekafiran.
Tapi tidak semua kisah pembangkangan akan berakhir dengan turunnya azab. Kondisi yang dialami Nabi Nuh AS memang sudah memenuhi – menurut pertimbangan Allah SWT – untuk turunnya sebuah azab. Kondisi yang berbeda dialami Nabi Yunus AS justru pada saat puncak cobaan, ia tak tahan dan meninggalkan kaumnya. Lantas Allah SWT tegur sikap begini seperti tertera pada QS Al-Qalam : 68.
Lama masa berdakwah Nabi Yunus AS kepada kaumnya tidak sebanding dengan lamanya Nabi Nuh AS. Namun ia terburu menilai objek dakwahnya sudah “deep freeze” dalam kekufuran. Hingga ia memutuskan lari dari kaumnya. Akhir cerita, setelah Allah SWT turunkan teguran dalam bentuk terkurungnya Nabi Yunus AS dalam tiga kegelapan, Allah SWT pun menerima tobat Nabi Yunus AS. Dan saat ia kembali kepada kaumnya, keadaan mereka malah sudah berbalik 180 derajat. Mereka telah berada pada keimanan dan merindukan Yunus AS kembali ke tengah mereka. Begitu Indah.
Tanpa pembedaan penghormatan kepada Nabi Yunus AS sedikit pun, kisah kaburnya Nabi Yunus AS ini menjadi pegangan bagi du’at untuk meredam godaan isti’jal (atau terburu-buru). Seorang dai tidak bisa seenaknya berputus asa terhadap objek dakwahnya lantas meninggalkan mereka begitu saja. Seorang dai tidak boleh gampang kecewa lantas meninggalkan proyek dakwah yang tengah berlangsung.
Perahu Nabi Nuh AS disiapkan untuk lari dari kondisi yang tak kan pernah bisa diubah. “Dan mereka tidak akan melahirkan generasi selain akan terjerumus kepada kemaksiatan dan kekafiran.” Begitu adu Nabi Nuh AS. Maka rasionalisasi “Perahu Nuh” didapat relevansinya pada kisah tersebut.
Akan tetapi perahu Nabi Yunus AS malah berbeda. Justru perahu yang dinaiki Nabi Yunus AS malah menjerumuskannya dalam tiga kegelapan: kegelapan lautan, kegelapan perut ikan Paus, dan kegelapan malam. Ini karena inisiatif Nabi Yunus AS lahir dari sikap isti’jal.
Seorang dai tidak bisa menuruti godaan isti’jalnya lantas menyiapkan sekoci yang ia sangka adalah “Perahu Nuh”. Bisa jadi perahu yang ia siapkan adalah “Perahu Yunus” yang membuatnya terpuruk.
Perahu Nuh bukanlah perahu keputusasaan karena kejaran duniawi yang tak kunjung terwujud. Entah itu harta atau kedudukan. Perahu Nuh adalah perahu yang menyelamatkan seorang yang ikhlas.
“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah”” (QS: Hud : 29)
Lagi pula, tugas seorang dai bukanlah membangun perahu eskapisme. Tetapi bersabar dalam himpunan orang shalih dalam proyek amal jama’i untuk mencapai peradaban yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Allahua’lam bishshawab.
sumber: dakwatuna.com
gambar hanya ilustrasi |
Ada satu surat yang seutuhnya bercerita tentang Nabi Nuh AS. Di surat bernomor 71 itu terbentang kisah perjuangan berat seorang Nabi yang berusia sangat panjang kepada kaum yang membangkang. Seruan telah disampaikan dalam diam maupun terang-terangan. Kaumnya telah diajak berpikir tentang penciptaan alam raya, telah pula diberi janji penghapusan dosa serta kehidupan dunia yang menyenangkan. Namun kaumnya itu malah membuat makar alih-alih menggunakan nuraninya untuk beriman.
Ending surat itu, azab Allah SWT turun kepada mereka yang membangkang. Kalau membaca dari apa yang Nuh AS adukan kepada Tuhan, lingkungan yang diazab itu memang sudah sedemikian parahnya sehingga setiap anak manusia yang lahir di lingkungan itu akan serta merta mengidap kekafiran.
Tapi tidak semua kisah pembangkangan akan berakhir dengan turunnya azab. Kondisi yang dialami Nabi Nuh AS memang sudah memenuhi – menurut pertimbangan Allah SWT – untuk turunnya sebuah azab. Kondisi yang berbeda dialami Nabi Yunus AS justru pada saat puncak cobaan, ia tak tahan dan meninggalkan kaumnya. Lantas Allah SWT tegur sikap begini seperti tertera pada QS Al-Qalam : 68.
Lama masa berdakwah Nabi Yunus AS kepada kaumnya tidak sebanding dengan lamanya Nabi Nuh AS. Namun ia terburu menilai objek dakwahnya sudah “deep freeze” dalam kekufuran. Hingga ia memutuskan lari dari kaumnya. Akhir cerita, setelah Allah SWT turunkan teguran dalam bentuk terkurungnya Nabi Yunus AS dalam tiga kegelapan, Allah SWT pun menerima tobat Nabi Yunus AS. Dan saat ia kembali kepada kaumnya, keadaan mereka malah sudah berbalik 180 derajat. Mereka telah berada pada keimanan dan merindukan Yunus AS kembali ke tengah mereka. Begitu Indah.
Tanpa pembedaan penghormatan kepada Nabi Yunus AS sedikit pun, kisah kaburnya Nabi Yunus AS ini menjadi pegangan bagi du’at untuk meredam godaan isti’jal (atau terburu-buru). Seorang dai tidak bisa seenaknya berputus asa terhadap objek dakwahnya lantas meninggalkan mereka begitu saja. Seorang dai tidak boleh gampang kecewa lantas meninggalkan proyek dakwah yang tengah berlangsung.
Perahu Nabi Nuh AS disiapkan untuk lari dari kondisi yang tak kan pernah bisa diubah. “Dan mereka tidak akan melahirkan generasi selain akan terjerumus kepada kemaksiatan dan kekafiran.” Begitu adu Nabi Nuh AS. Maka rasionalisasi “Perahu Nuh” didapat relevansinya pada kisah tersebut.
Akan tetapi perahu Nabi Yunus AS malah berbeda. Justru perahu yang dinaiki Nabi Yunus AS malah menjerumuskannya dalam tiga kegelapan: kegelapan lautan, kegelapan perut ikan Paus, dan kegelapan malam. Ini karena inisiatif Nabi Yunus AS lahir dari sikap isti’jal.
Seorang dai tidak bisa menuruti godaan isti’jalnya lantas menyiapkan sekoci yang ia sangka adalah “Perahu Nuh”. Bisa jadi perahu yang ia siapkan adalah “Perahu Yunus” yang membuatnya terpuruk.
Perahu Nuh bukanlah perahu keputusasaan karena kejaran duniawi yang tak kunjung terwujud. Entah itu harta atau kedudukan. Perahu Nuh adalah perahu yang menyelamatkan seorang yang ikhlas.
“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah”” (QS: Hud : 29)
Lagi pula, tugas seorang dai bukanlah membangun perahu eskapisme. Tetapi bersabar dalam himpunan orang shalih dalam proyek amal jama’i untuk mencapai peradaban yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Allahua’lam bishshawab.
sumber: dakwatuna.com
Komentar
Posting Komentar